Pengajian Jelang Buka Puasa, Masjid Agung Ar-Raudlah Bahas Pendidikan Karakter

Kraksaan, masjidagungar-raudhah.org – Masjid Agung Ar-Raudlah Kraksaan kembali menggelar Pengajian Menjelang Berbuka pada hari ke-14 Ramadhan, Jumat (14/3/2025). Kegiatan yang rutin diselenggarakan selama bulan suci ini menghadirkan Wakil Ketua Umum Takmir Masjid Agung Ar-Raudlah, KH. Ahmad Haidori, M.Pd.I, sebagai penceramah. Dalam tausiyahnya, beliau mengangkat tema Mendidik Generasi Berkarakter dan Berwawasan Luas.

Dalam penyampaiannya, Kiai Haidori menegaskan bahwa tujuan utama dari ibadah puasa adalah untuk mencapai ketakwaan, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an: la’allakum tattaqun. “Taqwa adalah inti dari setiap kebaikan,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa taqwa berarti berusaha selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

Menurutnya, kunci utama dalam membangun ketakwaan adalah dengan selalu merasa dilihat oleh Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan. “Jika kita selalu merasa diawasi oleh Allah, maka kita akan selalu berhati-hati dalam berbuat. Kita tidak akan berani berbuat maksiat, baik di tempat ramai maupun saat sendirian,” tuturnya.

Kiai Haidori kemudian menjelaskan bahwa dalam ajaran Islam terdapat tiga konsep utama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. “Orang yang beriman disebut mukmin, orang yang menjalankan Islam disebut muslim, dan orang yang mencapai tingkat Ihsan disebut muhsin,” katanya.

Ia menekankan bahwa Ihsan memiliki hubungan erat dengan akhlak dan karakter. “Ihsan itu hampir sama dengan akhlak, yaitu bagaimana seseorang memiliki karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari,” terangnya. Ihsan, dalam terminologi Islam, berarti menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya atau setidaknya merasa selalu diawasi oleh-Nya.

Lebih lanjut, Kiai Haidori menegaskan bahwa seseorang yang mencapai tingkat Ihsan akan memiliki akhlak yang baik. “Ihsan inilah yang membuat seseorang naik kelas dalam kehidupan spiritual dan sosialnya,” ujarnya. Ia pun mengingatkan bahwa tugas utama Nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak manusia.

Sebagai contoh nyata, Kiai Haidori membawakan kisah tentang akhlak Rasulullah SAW dalam menghadapi orang yang membencinya. Ia menceritakan kisah seorang fakir buta yang bukan beragama Islam, yang setiap hari mencaci Nabi. “Namun, Rasulullah tidak pernah membalasnya dengan keburukan. Justru beliau selalu membawakan makanan dan menyuapinya setiap hari,” kisahnya.

Ketika Nabi wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq mencoba melanjutkan kebiasaan tersebut. Namun, saat fakir buta itu mengetahui bahwa orang yang selama ini menyuapinya adalah Rasulullah yang telah wafat, ia menangis dan spontan mengucapkan syahadat. “Itulah akhlak yang dicontohkan Rasulullah. Beliau berdakwah bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata,” tegasnya.

Dalam konteks pendidikan, Kiai Haidori menjelaskan bahwa pendidikan bukan hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter. “Pendidikan itu harus mencakup tiga aspek: kepala (otak) untuk diisi ilmu, qolbu (hati) untuk ditanamkan nilai-nilai kebaikan, dan anggota badan untuk dilatih dalam amal perbuatan,” jelasnya.

Ia mengungkapkan bahwa konsep ini dapat dirangkum dalam tiga kata kunci, yaitu Head (kepala), Heart (hati), dan Hand (tangan). “Kognitif harus dipenuhi dengan ilmu, afektif harus dibangun dengan keimanan dan moral, dan psikomotor harus diarahkan pada tindakan yang baik,” tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Kiai Haidori juga mengajak para jamaah untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak mereka. “Menyekolahkan anak-anak kita adalah bagian dari ikhtiar untuk membangun bangsa. Namun, yang lebih penting adalah memperbaiki akhlak mereka, karena itulah yang akan membawa negara ini ke arah yang lebih baik,” pesannya.

Ia menyoroti bahwa di Indonesia tidak kekurangan orang-orang pintar. “Para pemimpin kita banyak yang bergelar S1, S2, S3, bahkan profesor. Namun, mengapa negeri ini masih banyak mengalami keterpurukan? Itu karena kekurangan akhlak,” ujarnya dengan nada prihatin.

Menurutnya, persoalan utama bangsa ini bukanlah kekurangan pendidikan formal, melainkan kurangnya pendidikan akhlak. “Mencari sarjana S1 hingga ke pelosok desa pun sangat mudah, tetapi mencari orang yang benar-benar berakhlak mulia sangat sulit,” tandasnya.

Di akhir tausiyahnya, Kiai Haidori mengajak seluruh jamaah untuk menjadikan momentum Ramadhan sebagai sarana memperbaiki diri. “Mari kita manfaatkan bulan suci ini untuk meningkatkan iman, Islam, dan Ihsan kita. Bangsa ini tidak hanya butuh orang cerdas, tetapi juga orang yang berkarakter dan berakhlak mulia,” pungkasnya.

Penulis: Alfin Maulana Haz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *